RSS
Facebook
Twitter

Tuesday 29 October 2013

Menjami’kan Hisab Rukyah

                                                   Menjami’kan Hisab Rukyah

Ketika bulan Ramadhan menjelang, Pertanyaan yang seringkali mengemuka adalah “Mengapa terjadi perbedaan penentuan ramadhan dan hari raya? Bukankah dalam menentukan awal bulan Hijriyah/Qomariyah acuannya adalah bulan (Hilal)? Bukankah bulan (Hilal) nya hanya satu?” Misalnya, bila di Jakarta  tanggal 1 Syawal, maka logikanya di seluruh Indonesiapun juga tanggal 1 Syawal. Tapi, mengapa selama ini sering terjadi di satu tempat (desa, kota) yang sama di Indonesia kok terjadi perbedaan tanggal 1 Ramadhan atau 1 Syawal?  mengapa hal itu bisa terjadi?

Jawaban yang mungkin mengarah pada kebenaran adalah, karena hal ini di latar belakangi adanya suatu perbedaan dalam cara menghitung penanggalan. Tepatnya, yang satu menggunakan cara ru’yah, yang lain memakai cara hisab.

Timbul pertanyaan lagi, kenapa tidak memilih salah satu? Dan mungkin ada yang mengatakan “gini ari kok masih pake ru’yah? Kuno amat, orang gerhana aja bisa diramal sampe ke detiknya, pake ilmu hisab”

Pertanyaan di atas mungkin di latar belakangi adanya salah paham, atau mungkin tindakan kegabah, dalam arti pertanyaan itu mewakili anggapan bahwa ru’yah dan hisab adalah dua hal yang terpisah dan berbeda, bahkan sagat dikotomis. Padahal, keduanya adalah cara yang diajarkan Rasulullah.

Dan sadar atau tidak , kita selama ini terjerembab dalam kebodohan yang sangat riel, hal ini terbukti saat kita mendengar ungkapan hisab, kita langsung mengklaim dia adalah golongan muhammadiyah, sementara saat kita mendengar ru’yah kita langsung menganggap mereka adalah golongan dari NU, lantas pertanyaan selanjutnya yang musti kita renungkan bersama sama, kita bagian dari mana ya? NU apa muhammadiyah? apakah kita pernah me-ru’yah? atau kalau tidak kita pernah mau hisab? Benarkah adanya hisab di miliki oleh muhammadiyah sementara rukyah di miliki oleh NU? Pertanyaan yang mungkin sepele tapi saat langsung di ajukan ke-kita, kebanyakan kita akan bingung untuk menjawabnya, karena ngaku atau tidak selama ini kita adalah orang yang bodoh yang selalu menanti apa saja yang telah di putusan olah atasan, kita tidak pernah mau belajar tentang ilmu ru’yah atau lebih lebih hisab.

Kajian kita kali ini mencoba “menikahkan” antara ru’yah dengan hisab yang oleh banyak orang selama ini di anggap sesuatu yang bertentangan.

HILAL

Dalam bahasa arab yang di maksud dengan Hilal adalah Awal Bulan hijriyah. Bulan mengitari Bumi memiliki fase tersendiri dalam setiap putarannya selama 29-30 hari/bulan. Setiap fase memiliki tanda atau bentuk tersendiri, seperti bulan sabit, setengah purnama, purnama, bulan mati, dan sebagainya. Hilal termasuk suatu fase awal bulan yang dapat dilihat oleh seseorang, secara singkatnya hilal adalah bulan sabit. Perlu di ingat, hilal ada pada setiap bulan, jadi istilah hilal tidak hanya dipakai ketika bulan Ramadhan, Syawal, Dzulhijjah saja, tetapi untuk semua bulan hijriyah.
Cara menentukan Hilal :

 Ada beberapa cara dalam menentukan Hilal, berikut ini beberapa caranya :

1.    Ru-yah
Ru-yah biasa dilakukan pada hari ke 29 (yaitu pada sore harinya menjelang/setelah maghrib) suatu bulan Hijriyah. Ingat hal ini tidak terlepas dari yang namanya hisab, karena di lakukan pada hari ke 29.

2.    Ikmal
Jika Hilal tidak terlihat pada proses ru-yah, maka bulan hijriyah tersebut disempurnakan/digenapkan menjadi 30 hari.

3.    Hisab
Ahli hisab membuat suatu metode perhitungan sehingga terbuatlah suatu jadwal/kalender Hijriyah dalam setiap bulan/tahunnya, dan bahakn biasa meraba tanggal tanggal yang akn terjadi di bulan dan tahun kemudian.

Perlu di ketahui antara Ru-yah dan Ikmal merupakan istilah yang berhubungan, karena jika ru-yah tidak dapat dilakukan maka ikmal 30 hari akan dilakukan. Dengan alasan itu maka wajar saja jika seolah-olah hanya ada dua cara menentukan Hilal, yaitu ru-yah dan hisab.
Ru-yah

Pada zaman Rasulullah, orang-orang ( Baca : para shahabat) berusaha bersama-sama untuk melihat Hilal, sebagaimana yang pernah diceritakan oleh Ibnu Umar ketika dia dan para shahabat Rasulullah lainnya berusaha untuk melihat Hilal Ramadhan :

Ibnu Umar berkata, “Orang-orang berusaha melihat Hilal, maka aku mengabarkan kepada Rasulullah Shallallahu `Alaihi Wasallam bahwa aku telah melihatnya. lalu beliau menjalankan puasa, dan memerintahkan orang-orang untuk melakukan puasa juga.”( Hadits Riwayat Abu Dawud nomor : 1995 )

Berdasarkan hadist tersebut, umat Islam sebaiknya dapat lebih memperhatikan tentang ru'yah Hilal ini sehingga sebagian kaum Muslimin dapat meluangkan waktunya untuk berusaha melihat Hilal pada akhir bulan, terutama pada 3 bulan penting. Walaupun pada zaman sekarang ini perkembangan hisab, terutama hisab astronomi, sudah sangat maju, tradisi para shahabat dalam berusaha melihat Hilal pada akhir bulan tetap dapat dipraktekkan dan dibiasakan kembali pada zaman ini, entah dipraktekkan oleh pengguna ru'yah murni maupun dipraktekkan oleh pengguna ru'yah dengan memakai bantuan hisab (ru'yah bil ilmil hisab).

Dari sisi penerapan ru'yah Hilal, ru'yah dibagi menjadi dua bagian :

1. Ru'yah murni

Orang yang memakai ru'yah murni ini sama sekali tidak memakai hisab untuk melihat Hilal. Jika suatu Hilal dapat terlihat menurut pengguna ru'yah murni sedangkan menurut pengguna hisab astronomi Hilal tidak mungkin dapat terlihat, maka pengguna ru'yah murni akan tetap menyatakan Hilal telah terlihat dan menolak pernyataan pengguna hisab astronomi. Di antara alasan mereka adalah : ru'yah Hilal adalah sunnah, ru'yah Hilal adalah ibadah, bahkan ada sebagian dari mereka yang sampai berpendapat bahwa hisab adalah bid`ah sehingga sangat alergi dan benci dengan penggunaan hisab, terutama hisab untuk penentuan Hilal.

2. Ru'yah dengan memakai bantuan hisab (ru'yah bil ilmil hisab).

Orang yang memakai penerapan ini tetap berpendapat bahwa ru'yah Hilal adalah cara terbaik dalam menentukan Hilal, tetapi mereka tidak menolak penggunaan hisab, mereka tetap memakai hisab sebagai alat bantu / panduan dalam menentukan Hilal. Hasil hisab dalam penentuan Hilal dibuktikan kebenarannya dengan ru'yah Hilal dalam praktek. Hasil ru'yah dalam praktek dibuktikan kebenarannya dengan hisab astronomi. Jika dalam praktek ru'yah Hilal suatu bulan Qamariyah dapat terlihat oleh pengamat Hilal tapi menurut ahli hisab astronomi bahwa itu tidak mungkin Hilal (Hilal tidak mungkin terlihat pada saat itu) berdasarkan kriteria hisab yang dipakai, maka kesaksian pengamat Hilal tersebut dapat ditolak dan tidak dipakai.

Sekedar sebagai wacana, penentuan Hilal melalui ru-yah sendiri memiliki beberapa perbedaan pendapat :

1.    Satu ru-yah untuk semua negeri.
Maksudnya : Jika suatu negeri telah menyatakan telah melihat Hilal melalui ru-yah dengan terpercaya dan terbukti, maka negeri lain wajib mengikutinya walaupun negeri tersebut tidak melihat Hilal di negerinya sendiri. Ini pendapat imam hanafi.
Contoh : Jika indonesia telah menyatakan telah melihat hilal, negara-negara lain di seluruh dunia yang belum melihat hilal harus mengikuti hasil ru-yah indonesia pula.
Pendapat satu ru-yah untuk semua negeri ini adalah pendapat jumhur (mayoritas) ulama, sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Sayyid Sabiq rahimahullah dalam Fiqhu as-Sunnah (Juz 1) :
فمتى رأى الهلال أهل بلد، وجب الصوم على جميع البلاد لقول الرسول صلى الله عليه وسلم 
” صوموا لرؤيته، وافطروا لرؤيته
وهو خطاب عام لجميع الامة فمن رآه منهم في أي مكان كان ذلك رؤية لهم جميعا.
Pendapat Jumhur : Tidak ada perbedaan mathla (tempat muncul hilal), maka penduduk negeri apa saja yang telah melihat hilal, maka seluruh negeri wajib shaum sebagaimana hadits Rasulullah, “Shaumlah kalian karena melihat hilal (awal Ramadhan), dan berbukalah kalian karena melihat hilal (awal Syawwal)”.
 Ucapan tersebut adalah umum untuk semua umat, maka barangsiapa di antara mereka yang telah melihat hilal di tempat mana saja, maka itu adalah ru-yah bagi mereka semua (Fiqhu as-Sunnah Juz 1).

2.    Satu ru-yah untuk satu negeri dan negeri yang berdekatan.
Maksudnya : Jika suatu negeri telah menyatakan telah melihat Hilal melalui ru-yah dengan terpercaya dan terbukti, maka negeri yang berdekatan wajib mengikutinya walaupun negeri tersebut tidak melihat Hilal di negerinya sendiri.
Contoh : Jika Indonesia telah menyatakan telah melihat hilal, maka negara-negara tetangga Indonesia ( seperti Malaysia, Brunei, Thailand dll) yang belum melihat hilal harus mengikuti hasil ru-yah Indonesia.
Ini adalah pendapat sebagian ulama Syafi’iyyah.

3.    Setiap negeri memiliki ru-yah masing-masing.
Maksudnya : Jika suatu negeri telah menyatakan telah melihat Hilal melalui ru-yah dengan terpercaya dan terbukti, maka negeri lain tidak wajib mengikutinya jika mereka tidak melihat Hilal di negerinya sendiri.

Contoh : Jika indonesia telah menyatakan telah melihat hilal, negara-negara lain di seluruh dunia yang belum melihat hilal maka tidak harus mengikuti hasil ru-yah indonesia, melainkan mengandalkan hasil ru-yah di negerinya sendiri.
Ini adalah pendapat Ikrimah, Qasim bin Muhammad, Salim, Ishaq rahimahumullah, dan pendapat yang dipilih oleh sebagian ulama Syafi’iyyah.
Sedangkan pendapat setiap negeri memiliki ru-yah masing-masing memiliki tambahan dalil dari hadits Kuraib / Ibnu Abbas :
Kuraib berkata : Aku tiba di Syam, lalu diumumkan tentang hilal Ramadhan ketika aku masih di Syam. Aku melihat hilal pada malam Jum’at. Lalu aku tiba di Madinah pada akhir bulan (Ramadhan), lalu Ibnu Abbas menanyakanku –lalu ia menyebut hilal–. Ibnu Abbas bertanya, “Kapan mereka melihat hilal?” Aku menjawab, “Kami melihat hilal pada malam Jum’at.” Ibnu Abbas bertanya, “Kamu melihat hilal?” Aku menjawab, “Ya, dan orang-orang melihat hilal, lalu mereka puasa, dan Mu’awiyah juga puasa.” Ibnu Abbas berkata, “Tapi kami melihatnya pada malam Sabtu, maka kami tidak berhenti puasa hingga kami menyempurnakan 30 hari atau kami melihat hilal.” Aku bertanya, “Apakah tidak cukup bagimu ru-yah Mu’awiyah dan puasanya?” Ibnu Abbas menjawab, “Tidak, begitulah Rasulullah telah memerintahkan (kami).”

Lantas pendapat mana yang benar? apakah pendapat pertama (satu ru-yah untuk semua negeri), pendapat kedua (satu ru-yah untuk satu negeri dan negeri yang berdekatan), atau pendapat ketiga (setiap negeri memiliki ru-yah masing-masing)?

Baiklah kita uji bersama sama, dengan harapan kita tidak menjadi orang yang selalu bingung dalam menanggapai suatu masalah khilafiyah.
Menurut penulis, pendapat yang paling kuat / mendekati kebenaran adalah pendapat yang pertama, pendapat yang paling ideal, dan juga merupakan pendapat mayoritas ulama. Dengan alasan : Kata “kalian” pada hadits ru-yah berlaku umum untuk semua orang Islam. Jika ada yang melihat Hilal, jujur, terpercaya, maka persaksian itu bisa diterima.

Sebagian kalangan meyakini bahwa pendapat ketiga (setiap negeri memiliki ru-yah masing-masing) adalah pendapat yang lebih kuat dengan dalil hadits Kuraib yang sudah disebut sebelumnya dan menyatakan bahwa jika pendapat pertama (satu ru-yah untuk semua negeri) lebih kuat, maka hadits umum tentang ru-yah itu bertentangan/bentrok dengan hadits Kuraib.

Jika direnungkan lagi, sebenarnya hadits Kuraib tidak bertentangan dengan hadits umum tentang ru-yah. Beberapa alasannya adalah :
1.     Tidak, begitulah Rasulullah telah memerintahkan (kami) Perkataan Ibnu Abbas ini bisa ditafsirkan dalam beberapa penafsiran, apakah maksudnya adalah :           
(A) Rasulullah memerintahkan ru’yah hilal Ramadhan berlaku di masing-masing negeri atau mungkin- (B)  Rasulullah memerintahkan jika berita hilal Ramadhan dari negeri lain sampai dengan telat pada saat negeri itu sedang puasa beberapa pekan, maka penduduk negeri itu sebaiknya melanjutkan shaum mereka.
Pendapat B mungkin lebih baik, dari pada A sehingga hadits Kuraib ini tidak bentrok dengan hadits hilal secara umum. Seandainya berita hilal Ramadhan di Syam bisa tiba tepat waktu di Madinah, maka belum tentu Ibnu Abbas akan berkata seperti itu dan Ibnu Abbas sangat mungkin akan mengikuti kesaksian orang-orang yang telah menyatakan melihat hilal Ramadhan di negeri lain.
2.    Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam saja menerima persaksian orang-orang yang melihat hilal tanpa menanyakan di mana mereka melihat hilal :
راءى الناس الهلال، فأخبرت رسول الله صلى الله عليه وسلم أني رأيته، فصام، وأمر الناس بصيامه.
Dari Ibnu Umar Radiyallaahu Anhu : Orang-orang melihat hilal (Ramadhan), lalu berita ru’yah itu disampaikan kepada Rasulullah, maka beliau shaum dan memerintahkan orang-orang untuk shaum.

Hisab

Dalam surat ar-Rahman ayat 5 ditegaskan bahwa matahari dan Bulan beredar dengan hukum yang pasti dan peredarannya itu dapat dihitung. Ayat ini tidak sekedar memberi informasi, tetapi juga mengandung dorongan untuk melakukan perhitungan gerak matahari dan Bulan. Kemudian ayat 5 dari surat Yunus menegaskan bahwa kegunaan perhitungan gerak matahari dan Bulan itu antara lain adalah untuk mengetahui bilangan tahun dan perhitungan waktu. Atas dasar inilah sebagian ulama’ untuk mengetahui adanya hilal, menggunakan metode hisab. Syaikh Syaraf al-Qudah dari Yordania menegaskan, “Pada dasarnya perhitungan bulan kamariah itu adalah dengan menggunakan hisab.”
Pertanyaan yang mungkin terbersit di benak pembaca, Kalau memang semangat al-Quran adalah hisab, lalu mengapa Nabi saw sendiri menggunakan dan memerintahkan melakukan rukyat? Menurut Muhammad Rasyid Rida dan Mustafa az-Zarqa’, perintah melakukan rukyat itu adalah perintah ber-illat, maksudnya perintah yang disertai illat (kausa hukum). Menurut kaidah fikhiah, hukum itu berlaku menurut ada atau tidak adanya ilat. Apabila ada ilatnya, maka hukum diberlakukan dan apabila tidak ada ilatnya, maka hukum tidak berlaku. Ilat perintah rukyat adalah keadaan umat yang ummi (tidak kenal baca tulis dan hisab) pada zaman Nabi saw. Ini ditegaskan dalam hadis riwayat al-Bukhari dan Muslim bahwa Nabi saw bersabda, “Kami adalah umat yang ummi. Kami tidak bisa menulis dan tidak bisa melakukan hisab. Bulan itu adalah demikian. Maksud beliau terkadang 29 hari dan terkadang 30 hari.” Ini artinya _ masih menurut Muhammad Rasyid Rida dan Mustafa az-Zarqa’_ bahwa setelah keadaan ummi itu hilang dan umat Islam telah menguasai baca tulis dan pengetahuan hisab, maka rukyat tidak digunakan lagi dan kembali kepada prinsip pokok, yaitu hisab.
Menurut Yusuf al-Qaradawi, rukyat bukan tujuan pada dirinya, melainkan hanyalah sarana untuk mengetahui masuknya bulan baru. Sebagai sarana, rukyat merupakan sarana yang lemah dan tidak begitu akurat. Hisab yang menggunakan kaidah-kaidah astronomi lebih memberikan kepastian dan akurasi tinggi, serta terhindar dari kemungkinan keliru dan kedustaan. Oleh karena itu, menurut Yusuf al-Qaradawi, apabila kita telah memiliki sarana yang lebih pasti dan akurat, maka mengapa kita harus jumud bertahan dengan suatu sarana yang tidak menjadi tujuan pada dirinya. Ahmad Muhammad Syakir, ahli hadis abad ke-20 dari Mesir yang menurut al-Qaradawi merupakan seorang salafi murni, menegaskan bahwa wajib menggunakan hisab untuk menentukan bulan kamariah dalam semua keadaan, kecuali di tempat di mana tidak ada orang mengetahui hisab.
Dan di akui atau tidak, bahwa dengan rukyat umat Islam tidak bisa membuat kalender. Menurut Prof. Dr. Idris Ibn Sari, Ketua Asosiasi Astronomi Maroko, ketiadaan kalender Islam terpadu hingga hari ini disebabkan oleh kuatnya umat Islam berpegang kepada faham rukyat sehingga tidak dapat membuat suatu sistem penanggalan yang akurat dan kuat. Haruslah diakui bahwa rukyat tidak dapat meramal tanggal jauh ke depan, karena Hilal baru bisa diketahui dengan metode rukyat pada hari ke-1.
Lagi pula sadar atau tidak, rukyat tidak dapat menyatukan awal bulan Islam secara global. Sebaliknya rukyat memaksa umat Islam untuk berbeda memulai awal bulan kamariah termasuk bulan-bulan ibadah. Hal itu adalah karena rukyat terbatas jangkauannya. Rukyat pada visibilitas pertama tidak dapat mengkaver seluruh muka bumi, sehingga pada hari yang sama ada muka bumi yang telah merukyat dan ada muka bumi yang belum dapat merukyat. Akibatnya adalah bahwa yang telah berhasil merukyat akan memulai bulan baru pada malam itu dan keesokan harinya, dan bagian muka bumi yang belum dapat merukyat akan menggenapkan bulan berjalan dan memulai bulan baru lusa, sehingga terjadilah perbedaan memulai tanggal.

Sekedar melihat fakta, bagi sementara orang, aplikasi hisab dianggap bertentangan dengan sunnah Rasul dan buru-buru menisbatkannya pada perbuatan bid’ah dan pelakunya merupakan orang yang sesat.

Argumentasi mereka adalah sebagai berikut :
إِنَّا أُمَّةٌ أُمِّيَّةٌ ، لاَ نَكْتُبُ وَلاَ نَحْسِبُ ,الشَّهْرُ هَكَذَا وَهَكَذَا
”Sesungguhnya kami adalah umat ummiyah. Kami tidak mengenal kitabah (tulis-menulis)[Maksudnya, dulu kitabah (tulis-menulis) amatlah jarang ditemukan. (Lihat Fathul Bari, 4/127)] dan tidak pula mengenal hisab[Yang dimaksud hisab di sini adalah hisab dalam ilmu nujum (perbintangan) dan ilmu tas-yir (astronomi). (Lihat Fathul Bari, 4/127)]. Bulan itu seperti ini (beliau berisyarat dengan bilangan 29) dan seperti ini (beliau berisyarat dengan bilangan 30).”[HR. Bukhari no. 1913 dan Muslim no. 1080, dari ‘Abdullah bin ‘Umar.]
“Berpuasalah kalian karena melihatnya, berbukalah kalian karena melihatnya dan sembelihlah kurban karena melihatnya pula. Jika -hilal- itu tertutup dari pandangan kalian, sempurnakanlah menjadi tiga puluh hari, jika ada dua orang saksi, berpuasa dan berbukalah kalian.”[ HR. An Nasai no. 2116.
Berdasar harfiah hadis diatas maka bagi orang-orang yang jumud ini maka kalau Nabi sudah bersabda jika tertutup awan saja kita disuruh menggenapinya menjadi 30, bukan dihitung, perlu di mengerti, pernyataan ini agaknya memeng sangat kritis, tapi pernyataaan ini juga ini berarti menafikan ungkapan sempurnakanlah menjadi tiga puluh hari. Yang mana ungkapan ini tidak terlepas adanya ilmu hisab.

Hadis diatas bisa kita lihat sebagai sebuah pengakuan yang jujur dari pribadi Nabi Muhammad Saw mengenai status peradaban umatnya saat itu. Dimana mereka disebutkan tidak pandai dalam hal ilmu pengetahuan (termasuk baca, tulis dan menghitung). Jadi, jika ternyata umat beliau sekarang ini sudah lebih pandai dalam hal tersebut ketimbang umat dimasa lalu, maka kepandaian ini - hemat kami - musti dipergunakan dalam kerangka menetapkan apa-apa yang sebelumnya sering menjadi keraguan akibat keterbatasan yang ada. Hadis tersebut menjadi parameter lain untuk kita bila Nabi Muhammad Saw secara tidak langsung mengakui adanya metode lain diluar dari apa yang biasa beliau dan umatnya gunakan untuk penentuan bulan baru. Memang tidak menutup kemungkinan bahwa dimasa Nabi Saw hidup, ada orang-orang tertentu yang bisa melakukan proses penghitungan bulan atau merukyat bil’ilmi, akan tetapi karena cara dan bentuk kepastian dari metode ini belum bisa disebut akurat akibat keterbatasan kondisi peradaban dimasa itu maka Nabi Saw belum menggunakan metode seperti ini.

Agar tidak rancau untuk menjami’kan antara ru’yah dan hisab, kami buatkan sebuah fakta yang slama ini tidak di sadari oleh banyak orang. Misalnya ketika penentuan awal bulan Dzulhijjah, banyak negara-negara yang mengikuti hasil ru-yah Arab Saudi. Namun saat penentuan awal bulan Ramadhan dan Syawal, masing-masing negara kukuh berpendapat dengan hasil ru-yah di negerinya masing-masing, tetapi ketika penentuan awal bulan Dzulhijjah banyak negeri Muslim yang mengikuti hasil ru-yah Arab Saudi. Aneh, kan?

Contoh lagi mengenai jadwal shalat 5 waktu untuk seluruh dunia, jadwal tersebut dibuat dengan hisab dan dipakai oleh mayoritas Muslim di dunia, termasuk di Indonesia. Jadwal shalat pada awalnya diketahui dengan cara melihat perubahan posisi matahari (dengan kata lain ru-yah Syamsu/Melihat matahari), tetapi dengan adanya ilmu hisab, jadwal shalat bisa dibuat untuk seluruh tempat di dunia. Kenapa hisab jadwal shalat bisa digunakan di seluruh dunia? Karena perhitungannya hasil hisab  sama (atau setidaknya hanya selisih sedikit saja beberapa menit) dengan hasil melihat langsung posisi matahari untuk menentukan waktu shalat. Pertanyaan untuk anda, apakah anda saat mau sholat duhur, ashar dll, anda keluar untuk ru’yah?

Jadwal shalat 5 waktu yang diterima di seluruh dunia itu dibuat dengan hisab, anehnya ketika ahli hisab membuat hisab untuk kalender hijriyah, termasuk penentuan Hilal Ramadan, Syawal dan Dzulhijjah, banyak negeri Muslim yang menolaknya, tetapi mereka memakai hisab (menggunakan kalender Hijriyah) untuk bulan-bulan Hijriyah selain Ramadhan, Syawal dan Dzulhijjah. Anehnya lagi mereka memakai hisab untuk shalat dalam keseharian hidup mereka, tetapi ketika menentukan Hilal mereka menolaknya.
Contoh lainnya dengan adanya hisab, jauh sebelumnya kita bisa mengetahui dengan jelas kapan waktu gerhana bulan atau gerhana matahari, di tempat mana terjadinya, kapan waktunya, dan sebagainya. Dengan adanya informasi seperti itu, kaum Muslimin jadi mengetahui tentang kapan waktu gerhana, dan juga bisa bersiap-siap untuk melakukan salah satu sunnah Rasulullah yaitu shalat gerhana.

Hemat kami, bahwa hasil pengamatan harus di uji dan harus sesuai dengan perkiraan hisab, jika misalnya secara hisab hilal mustahil terlihat maka hasil ru’yah secara otomatis diragukan ke sahihannya. Ketidak mungkinan hilal terlihat menurut perhitungan bisa dikarenakan ketinggian (altitude) terlalu rendah, azimuth terlalu melebar atau kerena pembiasan atmosfer atau faktor paralax. Ini membuktikan adanya ru’yah tidak bisa terlepas dari adanya hisab.
Berawal dari inilah bagi orang yang memakai metode Hisab akan mengatakan bahwa metode hisab itu lebih akurat dari pada ru’yah. Sebab, terkadang hilal sudah muncul namun tidak terlihat atau kebetulan bertepatan dengan munculnya sinar bintang yang dikira sebagai hilal, Hisab dalam penentuan awal Ramadhan itu sama saja seperti hisab dalam penjadwalan waktu-waktu shalat. Kalau untuk tujuan itu dibolehkan, maka logikanya untuk penentuan awal Ramadhan pun seharusnya boleh, dan juga Hisab dapat membantu kita memperkirakan apakah hilal nantinya bisa di lihat atau kah tidak.

Yang menjadi masalah sekarang, yang mana di antara kedua metode itu yang lebih baik?

Pertanyaan ini hemat kami tidak dapat dijawab dengan sikap black and white thinking. Maka sebelum menjawab pertanyaan yang tidak dapat dijawab dengan hitam putih itu, akan disodorkan sebuah ilustrasi sebagai bahan perbandingan. Einstein menghisab penyimpangan lintasan cahaya bintang akibat pengaruh medan gravitasi matahari. Hisab Einstein itu di uji coba dengan ru'yah Eddington cs pada waktu gerhana matahari total. Pada saat itu instrumen yang meru'yah cahaya bintang tidak silau oleh terangnya matahari, karena langit gelap di siang hari. Hasil ru'yah menunjukkan bahwa teori Einstein tentang adanya pengaruh medan gravitasi terhadap cahaya terbukti benar, namun hasil hisab dengan ru'yah tentang besarnya sudut penyimpangan itu terdapat sedikit perbedaan. Kalau pertanyaan yang sama dikemukakan dalam hal ini: Mana yang lebih tepat di antara ru'yah Eddington cs dengan hisab Eintein, maka jawabannya pun tetap sama: Tidak dapat dijawab dengan sikap black and white thinking.
Menurut hemat kami, Jika kita sekarang menentukan awal Ramadhan dan awal Syawwal dengan metode hisab, bukan berarti kita tidak mengikuti Hadits Nabi. Kita tetap melaksanakan ru’yah, cuma bukan ru’yah dengan mata melainkan ru’yah dengan ilmu, Kata kerja ra’aa, yaraa dalam bahasa Arab bukan hanya berarti ‘melihat’, tetapi juga dapat berarti ‘memperhatikan, menyelidiki, meneliti’. Selain menurunkan kata ru’yah, kata kerja ra’aa juga menurunkan kata ra’yu yang berarti ‘pemikiran, opini’.
Jika kita mau melihat fakta yang ada, setidak tidaknya kita dapat mengambil sedikit kesimpulan, bahwa ilmu falak mulai dari yang teori klasik sampai yang kontemporer adalah mengamati (rukyat) fenomena alam (Matahari,bumi,dan bulan) yang kemudian dituangkan dalam teori-teori perhitungan (hisab). Jadi pada dasarnya, rukyat adalah ”ibu kandung” dari hisab, dan hisab merupakan ”perwujudan” nyata dari rukyat. Sebab tanpa rukyat tidak mungkin ada data-data astronomis, dan sebaliknya tanpa hisab orang akan kebingungan untuk mengakses data terbaru dari data-data astronomis tersebut.

Dari sekelumit catatan kami di atas mungkin bisa di tarik suatu benang merah, bahwa sebenarnya hisab dan ru-yah tidak bertentangan, malah sebaliknya hisab bisa menjadi pendukung ru-yah. Dengan hisab, bisa ditentukan apakah Hilal kemungkinan besar akan terlihat atau tidak. Jika ahli hisab mengatakan ru-yah dapat terlihat di suatu tempat, maka hanya perlu pembuktian dengan ru-yah, dan ini biasanya memang benar. Jika ahli hisab dan astronom mengatakan dengan ilmu hisab dan astronominya bahwa Hilal kemungkinan tidak akan terlihat, maka tinggal buktikan saja dengan ru-yah, simpel kan? Hehe

Anda pilih hisab atau ru’yah … terserah, kalau pertanyaan ini diajukan kesaya maka saya akan dengan tegas menjawab saya mengikuti hasil ru’yah bil’ilmi dengan harapan tidak menafikan sunnah yang di ajarkan oleh Rosululloh.

Dan semoga catatan kecil kami ini bisa menambah wawasan anda.

0 comments:

Post a Comment